Sebelum tahun 2000 an, label musik (perusahaan rekaman) hanya fokus pada penjualan produk fisik yaitu kaset dan CD. Namun setelahnya, label musik mutasi fokus lebih kepada penjualan digital dan manajemen artis musik.
Tentunya, perubahan pola penjualan ini bukan hanya di Indonesia saja, namun juga berlaku bagi pelaku usaha musik di semua negara. Musik itu industri kreatif, sehingga semuanya akan bergerak secara dinamis mengikuti trend dunia.
Hal ini juga berlaku bagi semua pelaku usaha rumah musik yang wajib kreatif dalam mempertahankan ekosistem dunia musik itu sendiri. Semuanya harus berkesinambungan dan bersimbiosis.
Di Indonesia beberapa tahun belakangan ini, promotor musik (dunia pertunjukan musik) juga menjadi bagian dari sukses label musik itu sendiri. Namun, menjadi promotor musik itu gampang gampang susah.
Dulu, promotor pertunjukan musik selalu berharap dari sponsorship. Sementara saat ini, promotor lebih berharap dari penjualan tiket konser atau HTM alias Harga Tiket Masuk yang dijual biasanya 3 atau 6 bulan sebelum acara.
Dari target penonton, promotor bisa berhitung dan menentukan harga tiket. Sponsorship itu hanya bagian dari bonus. Dan hari ini banyak promotor pertunjukan musik selalu untung, asalkan kalkulasinya dijalankan secara profesional.
Menjadi promotor musik di Indonesia merupakan peluang bisnis. Selain finansial, kepercayaan juga menjadi modal utama di showbiz. Di dunia pertunjukan musik, nama-nama promotor juga harus ada verifikasi dalam sebuah asosiasi. Guna asosiasi ini agar promotor musik tidak ugal ugalan dalam pemyelenggaraan konser musik.
Dan mengapa saya bilang promotor musik itu sisi lain label? Karena dengan suksesnya artis musik di konser atau show dimana-mana, maka secara otomatis, artis musik tersebut lebih sukses diterima masyarakat ketika merilis single terbarunya di label musik.
Salam No Music No Life!
RK